Senin, 06 Juni 2011

Pro dan Kontra Harmonisasi Standar Akuntansi Internasional

PRO DAN KONTRA STANDAR AKUNTANSI INTERNASIONAL

Sampai saat sekarang ini, negara barat masih gencar mempromosikan perlunya harmonisasi standar akuntansi internasional. Tujuan utama upaya tersebut adalah untuk meningkatkan daya banding (comparability) laporan keuangan terutama bagi perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai belahan dunia. Tidak mengherankan jika pihak barat membentuk suatu badan yang dinamakan International Accounting Standard Committee (IASC), yang sekarang berubah namanya menjadi International Accounting Standard Board (IASB). Badan ini bertugas menghasilkan standar akuntansi internasional (International Financial Reporting Standards-IFRS).
Alasan utama penyajian laporan keuangan yang memenuhi standar adalah untuk kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri di masa depan, baik ditinjau dari segi penguna internal maupun pengguna eksternal. Pengakuan publik akan kelengkapan dan ketransparanan laporan keuangan sebuah perseroan terbuka meningkatkan tekanan sektor bisnis untuk menyediakan laporan keuangan yang sesuai dengan standar.
alasan lainnya untuk memudahkan bagi para investor yang ingin melakukan kegiatan investasinya di negara lain, yang membutuhkan laporan keuangan berstandar internasional agar dapat mengetahui keadaan perusahaan tersebut.

Meskipun IASB tidak memiliki power untuk mewajibkan semua negara menyusun laporan keuangan berdasarkan International Financial Reporting Standards, sampai saat ini badan tersebut dapat dikatakan sangat berpengaruh dalam proses harmonisasi. Hal ini tidak mengherankan karena negara-negara kapitalis terutama Amerika memainkan peranan penting dalam menghasilkan standar tersebut. Dengan kata lain, harmonisasi standar akuntansi internasional merupakan harmonisasi yang didasarkan pada model akuntansi Anglo-Saxon, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan sistem akuntansi, lingkungan ekonomi, sosial dan budaya negara lain (Hoarau 1995). Lebih lanjut Hoarau mengatakan bahwa standar yang dihasilkan sangat didominasi oleh konsep akuntansi yang dipraktikkan di USA. Dengan kata lain yang sekarang adalah upaya hegemoni Amerika dalam penyusunan laporan keuangan melalui standar akuntansi internasional.
Meskipun standar akuntansi yang dihasilkan IASB membahas pedoman yang kurang mendetail dan ruang lingkupnya terbatas bila dibandingkan dengan standar akuntansi versi USA (Statement of Financial Accounting Standards), IFRS tetap didasarkan pada konsep dan pendekatan akuntansi yang sama. Sebagai akibatnya, IFRS kemungkinan banyak bertentangan dengan tujuan pelaporan keuangan dan lingkungan social, ekonomi, dan budaya negara lain, terutama yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara kapitalis. Lebih khusus lagi, standar yang dihasilkan banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini disebabkan konsep ekonomi kapitalis yang mendasari penyusunan standar akuntansi negara barat jauh berbeda dengan konsep ekonomi Islam.
Standar akuntansi yang dihasilkan model akuntansi Anglo-Saxon menganut paham yang mengakui adanya nilai waktu dari uang, yang menghasilkan konsep bunga. Sementara itu, Islam secara tegas menolak digunakannya nilai waktu dari uang dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Hal ini disebabkan konsep tersebut sama artinya dengan riba, dan riba jelas dilarang dalam Islam. Riba dilarang dalam ajaran Islam karena riba menunjukkan ketidakadilan. Capra (1994) menyebutkan bahwa ketidakadilan tersebut muncul karena distribusi keuntungan yang didasarkan pada jumlah yang tetap, dapat merusak mekanisme harga dan menyebabkan alokasi sumber ekonomi yang mengarah pada penumpukan modal yang terpusat pada sekelompok orang tertentu.
Larangan terhadap riba memiliki implikasi tersendiri bagi harmonisasi standar akuntansi internasional. Sejauh ini standar akuntansi yang diterima secara internasional selalu mempertimbangkan faktor bunga, yang jelas dilarang dalam Islam (Hamid et al. 1993). Contoh standar akuntansi yang dihasilkan IASB (IASC) adalah akuntansi untuk sewa guna usaha/lease (IAS 17), Akuntansi Dana Pensiun (IAS 19 dan IAS 26), dan Akuntansi Kapitalisasi Cost Pinjaman (IAS 23). Standar tersebut pada dasarnya sama dengan standar akuntansi yang dikeluarkan Amerika melalui Financial Accounting Standar Board (FASB), seperti standar akuntansi Dana Pensiun (SFAS 87 dan 88), Amortisasi Hutang Jangka Panjang (Accounting Principles Board-APB 12), Bunga atas Piutang dan Hutang (APB 21), Leasing (SFAS 12), Resturkturisasi Hutang (SFAS 15), Pelaporan Hutang Pensiun (SFAS 88) dan pelunasan Hutang (APB 26).
Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah isu yang berkaitan dengan penilaian aktiva. Dalam akuntansi Anglo-Saxon, penilaian suatu aktiva terutama persediaan dan surat berharga umumnya dilandasi konsep konservatisme. Konsep ini mengakui rugi atau penurunan aktiva meskipun rugi atau penurunan tersebut belum terealisasi. Sebaliknya, konsep tersebut menunda pengakuan pendapatan atau kenaikan nilai aktiva sampai pendapatan atau kenaikan nilai aktiva tersebut betul-betul sudah terealisasi. Konsekuensi dari konsep ini adalah digunakannya metode penilaian persediaan dan surat berharga jangka pendek berdasarkan pada nilai terendah antara cost dan harga pasar (lower cost or market). Sementara itu, untuk tujuan perhitungan zakat-yang merupakan salah satu tujuan pelaporan berbasis ajaran Islam-ajaran Islam menilai kedua jenis aktiva tersebut berdasarkan pada nilai bersih yang dapat direalisasi atau net realizable value (Gambling dan Karim 1991). Dengan demikian jelas bahwa Islam tidak mengakui adanya konsep nilai terendah di antara cost dan harga pasar, seperti yang digunakan dalam akuntansi kapitalis.
Masalah yang ketiga adalah aplikasi dari konsep kesinambungan (going concern). Pemakaian konsep ini memungkinakn digunakannya penilaian aktiva berdasarkan cost historis untuk menunjukkan obyektifitas pengukurannya. Atas dasar cost historis ini, nilai aktiva pada tanggal tertentu (tanggal neraca) akan sama dengan nilai aktiva pada tanggal pertama kali aktiva tersebut diperoleh. Alasan utama diterapkannya konsep going concern tersebut adalah: (1) untuk memungkinkan dilakukannya klasifikasi aktiva dan hutang menjadi kelompok lancar dan tidak lancar, (2) memungkinkan dilakukannya penandingan (matching) antara pendapatan dengan biaya.
Dari sudut pandang ajaran Islam, kedua alasan tersebut dapat dipertanyakan dan tidak relevan (Gambling dan Karim 1991). Dalam ajaran Islam, klasifikasi aktiva kedalam lancar dan tidak lancar pada dasarnya dimaksudkan untuk menentukan besarnya kekayaan yang akan digunakan dalam penentuan besarnya zakat. Aktiva lancar tersebut diharapkan dapat dikonsumsi, atau dijual untuk menghasilkan kas dalam periode waktu dimana zakat akan dikenakan atas kekayaan tersebut. Sementara aktiva tidak lancar, akan tetap ditahan atau disimpan pada periode di luar periode zakat tersebut (Abdel-Magid 1981). Atas dasar hal ini, laporan keuangan harus mampu menyajikan informasi mengenai aktiva, yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar pengenaan zakat. Dengan demikian penilaian zakat akan menentukan metode penilaian aktiva. Metode yang tepat untuk menilai aktiva yang relevan dengan tujuan perhitungan zakat adalah net realizable value atau metode penilaian yang disarankan oleh Chambers (1966) yaitu continuously contemporary accounting (CoCoA).
Atas dasar metode CoCoA aktiva harus dinilai menurut nilai pasar pada tanggal neraca. Jadi setiap aktiva harus dapat dinilai secara individu, terpisah dari kekayaan perusahaan secara keseluruhan. Akibatnya, dalam konteks Islam tidak ada pengakuan aktiva seperti goodwill, karena goodwill tidak dapat dilihat bentuk wujudnya dan tidak dapat dinilai secara individu terpisah dari nilai perusahaan secara keseluruhan.
Hal lain yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah penggunaan konsep economic substance over legal form. Model akuntansi Anglo-Saxon jelas memisahkan substansi ekonomi suatu transaksi dengan status hukum dari transaksi tersebut. Atas dasar konsep ini, jika suatu transaksi ditinjau dari substansi ekonominya memiliki kriteria sebagai elemen laporan keuangan (karena memenuhi definisi, dapat diukur, dan diakui dalam laporan keuangan), maka transaksi tersebut dapat diakui dalam laporan keuangan meskipun secara yuridis tidak boleh diakui. Contoh klasik adalah mesin yang disewa oleh perusahaan melalui kontrak capital lease. Apabila secara substansi ekonomi memenuhi kriteria sebagai aktiva (seperti diatur dalam standar), maka mesin yang disewa tersebut dapat diakui sebagai harta kekayaan si penyewa dan dilaporkan dalam neraca sebagai harta milik penyewa. Namun demikian, dari aspek yuridis mesin tersebut tetap menjadi harta pemilik bukan penyewa. Konsep ini, jelas bertentangan dengan konsep pemilikan dalam ajaran Islam (Karim 1995).
Atas dasar perbedaan sudut pandang di atas, maka cukup rasional untuk mengatakan bahwa akuntansi seharusnya dikembangkan sesuai dengan kondisi lingkungan dimana akuntansi tersebut akan dipraktikkan. Praktik akuntansi kapitalis, jelas tidak semuanya dapat dipraktikkan di lingkungan yang bernafaskan Islam karena konsepnya jelas berbeda dan banyak yang bertentangan.

International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah sebuah standar yang kerangka dan interprestasinya diadopsi oleh Accounting Standards Board (IASB). Banyak standar membentuk bagian dari IFRS yang dikenal lebih dahulu, yaitu International Accounting Standards (IAS) yang diterbitkan antara tahun 1973 dan 2001 oleh International Accounting Standards Committee (IASC). Dan pada tanggal 1 April 2001 diambil alih tanggung jawabnya oleh IASB untuk menetapkan Standar Akuntansi Internasional. Yang kemudian IASB terus mengembangkan standar menyebut standar IFRS baru. IFRS dianggap sebagai "prinsip-prinsip berdasarkan" peraturan luas terdiri dari:


1. Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) - standar yang dikeluarkan setelah tahun 2001.
2. Standar Akuntansi Internasional (IAS) - standar yang diterbitkan sebelum 2001.
3. Interpretasi berasal dari interpretasi Pelaporan Keuangan Internasional Komite (IFRIC) - yang diterbitkan setelah tahun 2001.
4. Berdiri Interpretasi Committee (SIC) - yang diterbitkan sebelum 2001.
5. Kerangka Penyajian dan Penyusunan Laporan Keuangan.

IFRS digunakan di banyak bagian dunia, termasuk Uni Eropa, Hong Kong, Australia, Malaysia, Pakistan, negara-negara GCC, Rusia, Afrika Selatan, Singapura, dan Turki. Sejak 27 Agustus 2008, lebih dari 113 negara di seluruh dunia, termasuk seluruh Eropa, saat ini membutuhkan atau mengizinkan pelaporan berdasarkan IFRS. Sekitar 85 negara-negara membutuhkan IFRS pelaporan untuk semua, perusahaan domestik yang terdaftar. Sedangkan di Indonesia sendiri baru akan diadopsi mulai tahun 2012 mendatang.

Dan dengan diadopsinya IFRS secara penuh, maka laporan keuangan yang dibuat berdasarkan PSAK tidak memerlukan rekonsiliasi yang signifikan dengan laporan keuangan berdasarkan IFRS. Namun perubahan tersebut tentu akan memberikan efek di berbagai bidang, terutama dari segi pendidikan dan bisnis. Salah satunya adalah, banyak menggunakan fair value accounting dalam dunia pendidikan dan dalam dunia bisnis akan menyebabkan smoothing income menjadi semakin sulit dengan penggunaan balance sheet approach dan fair value. Oleh karena itu, maka kelompok kami akan membahas tentang “Pro Kontra Fair Value, Kebaikan dan Keburukan Fair Value Sebagai Dasar Pengukuran Aset”.
C. Pro dari adanya standar akuntansi internasional dengan fair value
a Relevance. Banyak orang percaya bahwa standard akuntansi historical cost telah banyak kehilangan relevansinya karena kegagalannya mengukur realitas ekonomi. Hampir semua orang setuju bahwa peristiwa ekonomi---yaitu, kejadian yang mengubah waktu kapan arus kas diterima dan jumlahnya yang akan datang – harus tercermin (terungkap) dalam laporan keuangan lembaga. Akan tetapi, seringkali model historical cost hanya mengukur transaksi sudah selesai dan gagal mengakui adanya perubahan nilai riil lain yang dapat terjadi.

b. Reliability. Masalah yang selalu ada yang tidak dapat dihindari adalah bahwa model akuntansi berdasarkan historical cost tidak mengakui adanya perubahan nilai bersifat ekonomis, dan cenderung membiarkan perusahaan memilih sendiri apakah dan kapan mengakui adanya perubahan tersebut. Ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang dilaporkan, dan memperburuk kompromi kenetralan dan dipercayainya informasi keuangan.

D. Kontra dari adanya satandar akuntansi internasional dengan fair value
a. Fair value berusaha menyediakan informasi yang transparan dengan menilai aset pada tingkat harga yang dihasilkan jika segera dilikuidasi-sehingga sangat sensitif terhadap pasar.

b. Akuntansi fair value bekerja melalui akuntansi mark-to-market (MTM), yaitu aset dicantumkan pada harga pasar mereka jika diperdagangkan secara terbuka. Menggunakan akuntansi mark-to-market akan berakibat perubahan yang terus-menerus pada laporan keuangan perusahaan ketika nilai aset mengalami kenaikan dan penurunan serta laba dan rugi yang dicatat. Hal ini membuat semakin sulit untuk memastikan apakah laba dan rugi diakibatkan oleh keputusan bisnis yang dibuat manajemen atau oleh perubahan yang terjadi di pasar.
c. Volatility. Lembaga keuangan mengatakan bahwa mereka takut akuntansi berdasarkan pasar akan menyebabkan volatility kinerja lembaga (karena semakin mudahnya nilai item-item aktiva dan pasiva berfluktuasi). Walaupun sebenarnya lembaga keuangan yang senantiasa mengelola bahaya yang mengancam asset dan liability hanya sedikit takut dengan market value accounting. Laporan keuangan lembaga keuangan yang kurang efektif dalam mengelola risiko akan tercermin pada volatility yang selalu ada dalam setiap usahanya. Para investor dan kreditur akan memiliki informasi yang lebih berguna dan relevan dalam membedakan risiko antar perusahaan, ketika mengambil keputusan investasi dan keputusan pemberian kredit (jika menggunakan MVA).
Referensi :

sumber : http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:skUCWwaA0wIJ:eprints.undip.ac.id/22807/1/SKRIPSI_MEGA.PDF+skripsi+ADOPSI+INTERNATIONAL+FINANCIAL+REPORT+STANDARD:&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShph2PZAKlXiRTLz_7d1xGjdZ_GtWPaieXRvnvWPv17oK5GZAtHDuUC-DuGQxhzzylHrJ24_d6kYzE6d-QGfA4JW_Dwhw6uoKUcp1O28KomvLjW4emCn7NupVz9iOR88-9zTFHY&sig=AHIEtbT3i1pBiKk_4E03uAH5pvrGWf88DA

http://staff.undip.ac.id/akuntansi/anis/2009/05/26/harmonisasi-standar-akuntansi-internasional-analisis-kritis-dari-perspektif-islam/

Siahaan, Hinsa (2009). Implikasi dan Permasalahan dalam Mengimplementasikan Konsep Nilai Wajar Dalam Kondisi Ekonomi Saat Ini.
Magnan, Michel (2009). Fair Value Accounting and the Financial Crisis
Gao, Yujing & Gaichune, (2009), Discussion for Applicability of the Fair Value Measurement in the Financial Crisis, International Journal Of Business Management, vol 4 no 12 (December 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar